Allah
Ta’ala berfirman dalam suatu ayat, Artinya,
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. az-Zumar,
39:11)
Kata tauhid
berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhid, yang memiliki arti menganggap sesuatu
itu satu, sedangkan makna tauhid adalah pemurnian ibadah kepada Allah Ta’ala
dengan cara menghambakan-diri secara murni dan konsekuen kepada Rabbul ‘alamin,
menjalankan ketaatan dengan memenuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,
serta melakukan peribadahan dengan penuh rasa ikhlas, ittiba’, khouf, dan roja’
kepada-Nya semata. Tidak ada sedikitpun penyertaan darinya akan campur-tangan
makhluk dalam kekuasaan dan kehendak Allah azza wa jalla. Segala penghambaannya
hanya ditujukan kepada pemilik hidup, Allah Rabbul ‘alamin. Pada dasarnya Allah
Ta’ala telah menciptakan manusia dengan fitrah memiliki tauhid.
Seperti
firman-Nya, Artinya, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(QS. ar-Ruum, 30:30).
Kemudian
juga firman-Nya, Artinya, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi…” (QS. al-A’raaf,
7:172)
Mengakui
kerububiahan Allah Ta’ala dan menjalankan segala konsekuensinya adalah sesuatu
yang bersumber kepada kefitrahan, sedangkan prilaku syirik adalah perbuatan
menyimpang dari kefitrahan yang berasal dari perbuatan mengada-ada oleh seorang
makhluk.
Sebuah
hadits shohih meriwayatkan,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجَّسَانِهِ.
Artinya,
“Setiap bayi dilahirkan diatas dasar fitrah, maka kedua-orangtuanyalah yang
menjadikannya Yahudi. Nasrani, atau Majusi.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Dan juga
firman Allah Ta’ala dalam sebuah hadits qudsi,
خَلَقْتُ عَبَادِيَ حُنَفَاءَ فَاجْتَالَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ.
Artinya,
“Aku ciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan lurus-bersih, maka setanlah yang
memalingkan mereka.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Setan
la’natullah yang telah berikrar untuk senantiasa menyelewengkan manusia dari
sifat kefitrahannya tersebut, telah membuat manusia yang berhasil
dipalingkannya akhirnya bersandar kepada zat lain yang dipertuhankan.
Keberpalingan inilah yang menyebabkan munculnya beraneka-macam illah yang juga
disembah dan diibadahi oleh seorang makhluk.
Sebagian
besar yang mengadakan illah-illah selain-Nya acapkali tidak mengakui akan
perbuatan syiriknya tersebut, bahkan lebih banyak yang tidak menyadari bahwa
yang mereka kerjakan itu adalah bentuk mempertuhankan thoghut yang sangat
membahayakan akidah dan nasib amalan-amalan mereka. Begitupun ketika ditanya
siapakah pencipta alam semesta, serentak mereka akan lantang menjawab: Allah
Ta’ala, namun setelah itu mereka percaya bahwa di sisi lain ada tempat
menyandarkan segala ‘ikhtiar’ yang turut andil dalam mengurusi kebutuhan
mereka. Seperti mempercayai adanya dewi kesuburan, dewa pengatur angin, dewa
pemberi hoki, dewa pembawa sial, dan semacamnya.
Tapi cobalah tanyakan kembali
ketika didapati mereka tengah melakukan sembahan-sembahan itu; apakah ini yang
juga kalian sembah seperti layaknya kalian menyembah Allah Ta’ala? Niscaya
mereka akan tegas menjawab bahwa perbuatan itu hanyalah sebagai perantara agar
maksud tujuan mereka sampai. Lalu apakah mereka tidak menghayati sebuah ayat
dari surat termudah yang biasa mereka baca dalam sholat mereka yang berbunyi.
Firman
Allah yang Artinya, “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu.” (QS. al-Ikhlash, 112:2)
Cerminan
ini pula yang menunjukkan seorang muslim yang bagaimanakah yang dapat dikatakan
ia telah berserah-diri semata kepada Allah Ta’ala dan menafikkan segala sesuatu
selainnya. Firman-Nya, Artinya, “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur-adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. al-An’am, 6:82)
Demikian
sebagaimana juga yang selalu diwasiatkan oleh para nabi Allah, seperti Ibrahim ‘alaihissalaam kepada
keturunannya,
Artinya,
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab, “Aku
tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan
itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), “Hai
anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah
kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS. al-Baqarah, 2:131-132)
Na’am,
hanya dalam Islamlah akan beroleh rahmat dan keselamatan, kebahagiaan dan
keuntungan, baik ketika di dunia maupun setelah kematian. Seseorang yang telah
dihidupkan hatinya dalam Islam sudah seharusnya mensyukuri nikmat terbesar
tersebut dengan melakukan keta’atan kepada-Nya. Terlebih Dia telah menetapkan
semua makhluk-Nya untuk mengibadahi-Nya semata. Firman-Nya, Artinya, “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
(QS. adz-Zariyaat, 51:56)
Arti dari تَعْبُدُوْنِ dari ayat diatas adalah kamu
mengibadahi-Ku atau kamu mentauhidkan-Ku dalam peribadahan. Seorang hamba
belumlah layak disebut seorang muwahhid apabila ia baru hanya mengakui tauhid
secara rububiyah akan Dzatnya semata.
Akan tetapi ia juga diwajibkan mengakui tauhid uluhiyah, yakni tauhid dalam
penyembahan kepada-Nya yang dengan itu ia akan memanjatkan do’a hanya
kepada-Nya, meminta pertolongan hanya kepada-Nya, melakukan suatu amalan sholih
hanya berharap balasan-Nya, atau melaksanakan penyembelihan hanya untuk-Nya,
dan lain-lain. Perhatikanlah dengan apa yang terjadi pada kaum musyrikin di
masa kehidupan Rasulullah, mereka memiliki keyakinan akan adanya Allah Ta’ala
namun menafikkan penyembahan wajib kepada-Nya semata. Simak perkataan mereka
dalam firman-Nya,
Artinya,
“Katakanlah, “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau
siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah
yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari
yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan
menjawab, “Allah.” (QS. Yunus, 10:31)
Dan juga
firman-Nya, Artinya, “Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang
menciptakan mereka? Niscaya mereka
menjawab, “Allah.” Jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah
Allah)?” (QS. az-Zukhruf, 43:87)
Jadi
barangsiapa yang belum melaksanakan tauhid dengan hakikat yang
sebenar-benarnya, maka belumlah ia melakukan peribadahan kepada Allah Ta’ala
karena sesungguhnya ia hanya baru mengakui sesuatu yang diharuskan dan
meninggalkan sesuatu yang diharuskan atas dirinya. Bahwa beribadah kepada Allah
Ta’ala belumlah terwujud dengan sebenar-benarnya, kecuali dengan mengingkari thoghut.
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya,
“…Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul-tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Baqarah,
2:256)
Thaghut
ialah syaitan dan perihal apa saja yang diserahkan segala penyembahan atasnya
selain Allah Ta’ala, Robbul ‘alamin. Ia terkandung dalam makna syahadatain yang
wajib diyakini oleh seorang mukallaf dan atau seorang muallaf. La illaha
bermakna menafikkan hak penyembahan dari selain Allah, sedangkan illallaha
bermakna penetapan hak Allah semata untuk diibadahi.
Dalam
al-Qur’an terdapat begitu banyak ayat yang menegaskan akan hal ini, seperti
misalnya pada ayat-ayat berikut, Artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah thaghut itu,” maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi
petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti
kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. an-Nahl,
16:36)
Artinya,
“Sembahlah Allah (saja) dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun (berbuat syirik).” (QS. an-Nisa’, 4:36)
Hal ini
merupakan pertanda tentang betapa pentingnya memahami tauhid, sebab dari dasar
sinilah yang sangat menentukan bagi nasib amalan-amalan yang akan dan telah
dikerjakan oleh seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar