Oleh : Ustadz Abu Amr Alfian
Mengamalkan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam merupakan
keniscayaan bagi setiap muslim. Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya,
لَّقَدۡ
كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ
ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ
ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Sungguh, telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang
baik, yaitu bagi barang siapa yang mengharap (pertemuan dengan) Allah dan Hari
Akhir, serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)
As-Sunnah, sebagaimana dijelaskan pada Majalah Qonitah edisi I, bisa
bermakna:
Jalan dan bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, sehingga
as-Sunnah meliputi agama Islam secara keseluruhan, Amalan yang mandub/mustahab
(dianjurkan/disukai).
Dalam pembahasan ini, mengamalkan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam meliputi dua makna tersebut. Wanita mukminah yang berhijab syar’i
dengan memenuhi syarat-syaratnya dikatakan telah mengamalkan sunnah, yang hal
ini hukumnya wajib. Demikian juga wanita yang mengamalkan shalat dhuha,
misalnya, dikatakan mengamalkan sunnah, yang hal itu hukumnya mustahab.
Seorang muslim yang senantiasa menjaga pengamalan sunnah-sunnah Nabi
dalam kesehariannya, sebagaimana ia menjaga makanan dan minuman yang merupakan
kebutuhan fisiknya, bahkan penjagaannya terhadap sunnah lebih besar, dia akan
memetik manfaat yang sangat besar.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (w. 620 H) mengatakan, “Dalam
mengikuti sunnah terdapat faedah (antara lain): mendapat barakah mencocoki
syariat, meraih ridha Allah subhanahu wa ta’ala, diangkatnya derajatnya,
mendapatkan kelapangan hati dan ketenangan badan, membuat setan benci, dan
menempuh shiratal mustaqim.” (Dzammul Muwaswisin hlm. 41. Lihat Dharuratul
Ihtimam bi as-Sunnah an-Nabawiyyah hlm. 43)
Secara lebih lengkap, berdasarkan keterangan dalil-dalil al-Qur’an dan
al-Hadits, mengamalkan sunnah-sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam akan
membuahkan faedah, di antaranya:
Dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ
ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ
ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١
“Katakanlah (kepada mereka, wahai Muhammad), ‘Jika kalian
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Nabi Muhammad), niscaya Allah
mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31).
Pada ayat di atas, Allah menegaskan balasan bagi barang siapa yang mau
mengikuti sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dengan firman-Nya, “niscaya
Allah mencintai kalian.”
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda bahwa Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا
فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ
عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا
افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي
يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حتَّى
أُحِبَّهُ
“Barang siapa memusuhi salah seorang wali-Ku, sungguh Aku umumkan
peperangan padanya. Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku
dengan suatu (ibadah) yang lebih Aku cintai daripada ibadah/amalan yang Aku
wajibkan atasnya. Senantiasa hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan
ibadah/amalan nafilah hingga Aku mencintainya.” (HR. al-Bukhari no. 6502, dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Hadits di atas menerangkan bahwa ibadah-ibadah nafilah merupakan salah
satu sebab memperoleh kecintaan dari Allah. Diterangkan oleh al-Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah (w. 852 H) bahwa yang dimaksud adalah ibadah-ibadah nafilah
yang terkandung dalam ibadah-ibadah fardhu, melingkupinya, dan
melengkapinya.
Dengan demikian, makna hadits di atas adalah apabila
seseorang melaksanakan ibadah-ibadah fardhu dan senantiasa melaksanakan
ibadah-ibadah nafilah, baik berupa shalat dan puasa sunnah maupun ibadah
lainnya, hal ini lebih bisa mengantarkannya untuk mendapatkan kecintaan dari
Allah subhanahu wa ta’ala. (Lihat Fathul Bari pada hadits no. 6502).
Menjaga amalan sunnah/nafilah menutupi kekurangan-kekurangan pada
amalan wajib melaksanakan kewajiban dengan sempurna adalah sesuatu yang sulit
dicapai. Karena kelemahan yang ada pada seorang hamba, ada saja kekurangan pada
pelaksanaan kewajibannya. Misalnya, kurang khusyuk dalam shalat fardhu ;
puasanya terkotori oleh ghibah, namimah, dan dosa-dosa lainnya ; ibadah hajinya
masih tercemari oleh fisq (kefasikan) dan jidal,[2] dan masih banyak lagi.
Hal-hal tersebut mengurangi nilai dan pahala ibadah seorang hamba.
Namun, Allah subhanahu wa ta’ala sangat luas rahmat dan karunia-Nya.
Allah menjadikan ibadah-ibadah nafilah (ibadah sunnah) sebagai penutup berbagai
kekurangan tersebut. Disebutkan dalam hadits,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ
النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاةُ، قَالَ: يَقُولُ رَبُّنَا
جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ
أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي،
أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا؟ فَإِنْ
كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ
كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ:
انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ
تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ
تَطَوُّعٌ، قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي
فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ
تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
Sesungguhnya, amalan manusia yang pertama kali dihisab (dihitung) pada
hari kiamat adalah ibadah shalat. Allah berfirman kepada para malaikat—dan
Allah Mahatahu, “Periksalah shalat hamba-Ku, apakah dia menyempurnakan
shalatnya ataukah ada kekurangan padanya.” Apabila shalatnya sempurna, ditulis
sempurna untuknya.
Namun, apabila ada kekurangan, Allah berfirman, “Periksalah
apakah hamba-Ku mempunyai amalan tathawwu’ (nafilah).” Apabila dia mempunyai
amalan tathawwu’, Allah berfirman, “Sempurnakanlah amal fardhu hamba-Ku dengan
amal tathawwu’nya.” Selanjutnya, amalan-amalan (fardhu) lainnya pun
diperlakukan demikan. (HR. Abu Dawud no. 863, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)
Ada keutamaan yang sangat besar bagi orang yang berpegang pada
as-Sunnah, terutama pada masa orang-orang berpaling darinya, dan orang-orang yang
berpegang padanya justru dicela.
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya di belakang
kalian akan ada hari-hari kesabaran. Kesabaran pada hari-hari tersebut laksana
memegang bara api. Orang yang beramal (dengan as-Sunnah) pada hari-hari
tersebut (mendapat pahala) sebanding dengan pahala lima puluh orang yang
beramal seperti amal kalian.” ‘Abdullah bin al-Mubarak mengatakan bahwa dalam
riwayat selain ‘Utbah ada tambahan, “Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
pahala 50 orang dari kami (sahabat) ataukah 50 orang dari mereka?’ Nabi
menjawab, ‘Bahkan 50 orang dari kalian (sahabat)’.”[3] (HR. at-Tirmidzi no.
3058, dari Abu Tsa’labah al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu)
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran. Pada
hari-hari tersebut, orang yang berpegang teguh pada agama—yang kalian berada di
atasnya—mendapatkan pahala lima puluh orang dari kalian.” Para sahabat
bertanya, “Wahai Nabiyullah, bukannya lima puluh orang dari mereka?” Rasulullah
menjawab, “Bukan, melainkan dari kalian (yakni para sahabat).”[4] (HR.
al-Marwazi dalam as-Sunnah hlm. 9, dari ‘Utbah bin Ghazwan radhiyallahu ‘anhu.
Lihat ash-Shahihah no. 494)
Mengamalkan as-Sunnah Merupakan Jaminan Keselamatan dari Kebid’ahan
Al-Imam az-Zuhri rahimahullah (w. 124 H) menegaskan, “Dahulu para
ulama kita mengatakan, ‘Berpegang teguh pada as-Sunnah merupakan keselamatan’.”
(HR. ad-Darimi no. 97)
Maksudnya, keselamatan dari segala kesesatan dan kemungkaran. Yang
terbesar adalah keselamatan dari kebid’ahan yang merupakan jembatan menuju
kekufuran! As-Sunnah itu sebagaimana dikatakan oleh al-Imam Malik rahimahullah
(w. 179 H), “As-Sunnah itu laksana kapal Nabi Nuh. Barang siapa menaikinya,
selamat; barangsiapa tertinggal darinya, celaka!”
Abu Muhammad ‘Abdullah bin Manazil rahimahullah (w. 331 H) mengatakan,
“Tidaklah seseorang menyia-nyiakan satu amalan fardhu, kecuali Allah menimpakan
padanya musibah berupa menyia-nyiakan amalan-amalan sunnah. Tidaklah seseorang
ditimpa musibah berupa menyia-nyiakan amalan-amalan sunnah, kecuali sebentar
lagi dia akan ditimpa musibah berupa terjatuh pada kebid’ahan-kebid’ahan.”
(Lihat al-I’thisam karya asy-Syathibi I/169)
Orang yang mengamalkan as-Sunnah akan mendapatkan pahala orang-orang
yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Nabi shalallahu
‘alaihi wassalam bersabda, “Barang siapa mencontohkan dalam Islam contoh yang
baik, kemudian diamalkan juga setelah itu (yakni diikuti oleh orang lain),
ditulis baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi
pahala mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017, dari Jarir bin ‘Abdillah).
Berpegang Teguh pada as-Sunnah merupakan Jaminan Keamanan dari
Perpecahan. Oleh karena itu, tatkala terjadi perselisihan, kita diperintah oleh
Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpegang teguh pada
as-Sunnah dan meninggalkan berbagai bid’ah. Beliau n bersabda,
فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي
فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sungguh, barang siapa hidup sepeninggalku, dia akan mendapati
perselisihan yang banyak. Maka dari itu, wajib atas kalian mengamalkan sunnahku
dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegangteguhlah
padanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Waspadailah
perkara-perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Dawud no. 4607, dari
al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan shahih oleh al-Imam Ibnu
‘Abdil Barr, al-Hakim, dll)
Bersatu di atas prinsip mengamalkan as-Sunnah akan mencegah terjadinya
perselisihan yang mengantarkan kepada permusuhan dan kebencian. Oleh karena
itu, ahlus sunnah sangat jauh dari perpecahan. Sebaliknya, di kalangan ahlul
bid’ah, yang sangat tampak adalah perpecahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H) mengatakan,
“Bid’ah itu senantiasa diiringi perpecahan, sebagaimana as-Sunnah senantiasa
diiringi persatuan.” (al-Istiqamah I/42)
Ibrahim bin Yazid at-Taimi rahimahullah (w. 92 H) pernah berdoa,
اللَّهُمَّ
اعْصِمْنِي بِدِيْنِكَ وَبِسُنَّةِ نَبِيِّكَ مِنَ اْلاِخْتِلاَفِ فيِ
الْحَقِّ، وَمِنَ اتِّبَاعِ الْهَوَى،
وَمِنْ سُبُلِ الضَّلاَلَةِ، وَمِنْ
شُبُهَاتِ الْأُمُورِ، وَمِنَ الزَّيْغِ وَالْخُصُومَاتِ
“Ya Allah, lindungilah aku dengan agama-Mu dan sunnah Nabi-Mu dari
perselisihan dalam al-haq, dari mengikuti hawa nafsu, dan dari jalan-jalan
kesesatan, perkara-perkara syubhat, penyimpangan, dan perdebatan.” (Lihat
al-I’tisham I/143 dan Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih no. 2333).
Kiranya, beberapa faedah mengamalkan as-Sunnah di atas bisa mendorong
dan memotivasi kita semua, terutama saudari muslimah sekalian, untuk semakin
serius dan bersemangat dalam berkomitmen di atas sunnah-sunnah Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassalam.
(Disarikan dari kitab Dharuratul Ihtimam bi as-Sunnah an-Nabawiyyah karya
asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjis rahimahullah dengan ringkasan dan tambahan
dari penulis).
Misalnya, dalam ibadah shalat wajib, ada gerakan dan bacaan yang
wajib, ada pula yang sunnah; dalam ibadah puasa Ramadhan, ada amalan-amalan
sunnah yang patut diperhatikan, seperti menyegerakan berbuka dan mengakhirkan
sahur. Ini makna ibadah nafilah yang terkandung dalam ibadah fardhu/wajib. Adapun
ibadah nafilah yang melengkapi ibadah fardhu, contohnya shalat-shalat rawatib
yang melengkapi shalat wajib lima waktu. Wallahu a’lam.
Fisq (kefasikan) di sini bermakna semua jenis kemaksiatan, termasuk
pembatal-pembatal ihram. Adapun jidal adalah perdebatan, perbantahan, dan
perselisihan, yang hal ini akan menimbulkan kejelekan dan permusuhan. (Lihat
Tafsir as-Sa’di pada surat al-Baqarah: 197).
Terdapat perbedaan pendapat dalam menshahihkan kalimat terakhir;
as-Syaikh al-Albani t menshahihkan sedangkan asy-Syaikh Rabi’ mendhaifkannya.
Dengan keutamaan ini, tidak berarti mereka lebih utama daripada para
sahabat g. Mereka mendapatkan pahala lima puluh kali pahala sahabat dalam hal
amalan ini saja. Jadi, keutamaan mereka muqayyad (terbatas). Adapun para
sahabat, keutamaan mereka tidak tertandingi oleh generasi mana pun yang datang
setelah mereka. Jadi, keutamaan para shahabat g itu mutlak (menyeluruh/dalam
semua hal). Asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Keutamaan ini tidak
berarti bahwa mereka lebih utama daripada para sahabat g. Harus dibedakan
keutamaan yang bersifat mutlak (menyeluruh) dengan keutamaan yang bersifat
muqayyad (terbatas).” (Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa’il al-‘Utsaimin 25/307).
#GerakanDakwahSalaf
#GerakanMencintaiSunnah
#AjalkuSemakinMendekati